Jumat, 19 September 2014

Persimpangan Jalan Part 1

PERSIMPANGAN JALAN
By : Yayu Susiyanti

 Pagi ini matahari malu-malu keluar dari peraduannya, sesekali mengintip di balik awan biru. Panasnya belum seberapa di bandingkan panasnya mata dan hatiku, ah tunggu ku rasa hatiku tak panas tetapi perih. Iya perih, ibarat luka terus di tetesi oleh jeruk nipis. Hahaha tidak separah itu juga.

Perkenalkan namaku Kalila, aku hanya seorang gadis yang biasa saja tak punya kemampuan apapun selain berdiam menyepi dan duduk lama menatap layar computer atau notebook hanya untuk menulis. Tapi hanya itu yang bisa membuat perasaanku lebih baik dan bahagia. Bahagia yang sederhana hanya dengan bisa berbagi cerita dan motivasi.
Perasaanku hari ini campur aduk seperti gado-gado, mau marah tapi untuk apa? Mau menangis tapi terlalu lelah untuk menangisi hal yang sama dan berulang-ulang. Aku tau menangis itu wajar dan gak dosa karena ada saatnya kita memberikan hak kepada mata untuk menangis dan dengan menangis kita sadar kalau kita mempunyai hati dan mata yang berfungsi dengan baik.

“Kalilaa…” Panggil Thyara
Aku menoleh dan kembali menunduk menatap layar notebook putihku.
“Dihh bukannya nyaut, malah sibuk sendiri” Oceh Thyara

Thyara Anggina, sahabat terbaik yang ku punya saat ini. Sahabat yang sekaligus musuh bubuyutan karena dia itu rese dan menyebalkan tak kenal waktu. Tapi aku sangat menyayanginya, dia sudah ku anggap sebagai saudaraku sendiri. Hanya dengan dia aku bisa menjadi diriku apa adanya, hanya kepada dia aku bisa mengadu ini-itu tanpa harus ada kata sungkan. Dia adalah orang yang pertama kali merangkul dan mengulurkan tangan ketika aku jatuh ke pelosok, yah walaupun dia pasti akan menertawakanku terlebih dahulu. Belum namanya sahabat kalau pas curhat sedih di ketawain dulu. Yaaa you’re my best friend walaupun kadang gak pernah akur.
“hah??..” Aku menatapnya sesaat lalu kembali menunduk.

“Ahh elahh, cape ya ngomong sama tembok” Thyara mulai kesal padaku. “Mau sampai kapan menyiksa diri seperti ini Kalila?”

“Entahlah Thya..” Aku menahan tangisan yang ku tahan sejak tadi.
Thyara menatapku tajam “Lila, hidup ini harus bergerak dan mau gak mau kamu juga harus ikut bergerak. Mau sampai kapan Lila? Coba deh kamu inget-inget kesalahan dia biar ada alasan buat kamu lupa sama Rama”
Air mataku jatuh tak tertahan “Dia terlalu baik Thya, bagaimana bisa aku melupakan Rama? Bagaimana bisa aku mengikis rasa ini? Selama ini dia yang membuat aku kuat dan bisa ngejalanin semua hidupku dengan baik”
“Kalau dia baik kenapa dia meninggalkanmu?”
“Mungkin.. karena dia ada alasan lain…” Jawabku terbata-bata
“Apa??”
“Iya, karena dia sayang sama aku. Mungkin” Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.
“Kok pake mungkin? Gak yakin sama jawaban sendiri?” Thyara terus mendesakku.
Aku hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.
“Cinta yang tulus akan menemukan jalannya untuk kembali, dan ketika dua orang yang saling mencintai dengan tulus dan tanpa pamrih akan selalu berusaha tetap untuk bersama meskipun keadaan sulit untuk mereka tetap bersama dan bersatu” Celetuk Thyara.

Aku pura-pura tak mendengar apa yang Thyara katakan, walaupun sebenarnya hati kecilku membenarkan ucapan Thyara. Cinta yang tulus akan menemukan jalannya untuk kembali dan akan tetap bertahan seberapa sulitnya itu. Pikiranku jauh menerawang teringat sosok yang jauh di sana yang selalu mengawasiku dalam diamnya, Wira. Iya, Wira…
Wira, sosok pria yang pernah hadir di scenario kehidupanku. Entah harus bagaimana mendeskripsikannya, karena dia tidak dapat di deskripsikan bukan karena dia makhluk astral. Wira sosok pria yang jujur sampai saat ini aku masih bingung ketika aku mengingat sosoknya, pria yang dalam diamnya masih begitu mencintaiku tanpa ingin aku tau perasaan dia yang sebenarnya. Wira yang seolah membenciku sangat dalam tetapi dalam hatinya dia begitu tulus mencintaiku dan sialnya aku mengetahui hal ini di saat waktu yang sudah terlambat. Mungkin lagu Adera – Melewatkanmu adalah sebuah tamparan keras untukku..
******

Sebuah lantunan lagu Aerosmith mengalun dari Handphoneku, ada panggilan masuk dari Wira. Aku hanya meliriknya tanpa ingin menjawab panggilannya.

“Maafkan aku bukan maksud aku untuk menjauhimu, tapi ini lebih baik untuk aku dan kamu. Aku gak mau menyakitimu terlalu jauh dan terlalu dalam. Maafkan aku, Wira” Aku membathin.
Belakang ini aku lebih banyak menyendiri di suatu tempat, tempat yang membuatku nyaman dalam kesendirian dan keheningan. Tempat dimana aku bisa melepaskan semua yang aku rasa, tempat dimana tak ada seorangpun yang bisa melihat aku menangis dan tempat dimana aku bisa dengan bebas mengenang Wira dan Rama.

Pikiranku jauh menerawang, memikirkan Rama, Rama dan masih tentang Rama. Semuanya masih seperti mimpi, mimpi buruk yang tak bertepi mungkin. Ingin rasanya aku mendengar suara Rama walaupun hanya sebentar saja, tapi apa mungkin Rama masih ingin berbicara denganku setelah apa yang terjadi antara aku dan Rama? Karena yang aku tau kehadiranku begitu menyakitkan untuk Rama. Aku masih ingat jelas semua ucapan Rama malam itu.

“Kita tak bisa seperti dulu lagi, aku harap suatu saat nanti kamu akan mengerti mengapa aku seperti ini. Aku hanya ingin kamu bahagia, gak mau nangis terus kalau sama aku. Ini yang terbaik untuk kita, aku harap kamu bisa mengerti. Kamu gak akan pernah tau seberapa sayang aku sama kamu”

Rasanya masih terlalu berat untuk melepaskan semua tentang Rama, gak semudah mengedipkan mata. Seandainya saja aku bisa mencegah dan memohon Rama untuk tetap tinggal di sisiku tapi apa mungkin??

“Hei Kalilaa….” Panggil suara di belakangku.
Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku melihat sosoknya “kamu?? Sedang apa kamu disini?”
“Sama sepertimu, melarikan diri dari kenyataan hidup” Jawabnya enteng.
“Maksudmu apa melarikan diri? Aku sama sekali tak melarikan diri”
“Sudahlah Lila, mau sampai kapan kamu bersembunyi di balik kepalsuan” Dia duduk di sebelahku “Aku sudah lama mengenalmu, kamu bisa saja memakai topeng kepada yang lain untuk menipu tapi kamu tak bisa menipu aku ataupun hati kamu sendiri”
“Gak usah sok tau”
Dia tertawa lalu menatapku pelan “Semua orang bisa berlari dari kenyataan hidup tapi taka da seorangpun yang bisa lari dari kenyataan perasaan”.
Aku terpukau mendengarnya, ingin rasa hati untuk membantah tapi mendadak saja lidahku sulit di gerakkan dan aku hanya terdiam.
“Kenapa kamu tau aku di sini?” Tanyaku perlahan
“Kamu dan aku itu sama Lila, punya kesamaan dan ingin berlari dari kenyataan”
“Sekali lagi aku bilang yah sama kamu kalau aku ini gak lari dari kenyataan, tapi yah emang di tempat inilah aku menemukan kenyamanan” Belaku

Aku memang sering ke tempat ini, sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Dulu aku sering ke sini bersama Wira, aku dan Wira menamai tempat ini sebagai Nixtio. Di tempat ini aku bisa puas menangis tanpa ada yang tau kalau aku menangis, aku sering menangis sejadinya di sini dan setelah menangis aku harus bersikap seolah semua tidak ada yang terjadi dan baik-baik saja. Penuh kepalsuan, mungkin itu yang bisa tergambarkan.

“Aku masih ingat tempat ini, tempat dimana semuanya tercatat rapi dan jadi saksi apa yang sudah kita lalui bersama” Wira menatapku dengan pandangan mata yang aku sendiri tak mengerti.
“Sudahlah Wira, jangan buat aku merasa serba salah lagi”
“Aku tau kamu masih sayang aku, tapi sampai kapan kamu berbohong menutupinya?”
“Aku dan kamu itu sudah selesai Wira, please jangan ungkit lagi”
“Kamu bohong Lila, sampai kapan kamu menutupi kebohongan dan kepalsuan ini?”
“Wira, please stop… Aku gak suka di ungkit masalalu”
“Untuk apa kamu datang ke tempat ini, tempat dimana penuh cerita aku dan kamu?”
“Wira, aku bilang stop ya stop. Kamu ngerti kata STOP ga sih Wir?” Aku mulai emosi.
“Kamu memang gak pernah berubah ya Lila……” Belum sempat Wira berbicara aku memotongnya.
“Kamu itu menyebalkan ya Wir, kamu masih aja gak bisa menerima kenyataan kalau aku sama kamu itu udah selesai. Kamu tau apa arti selesai? Apa perlu aku perjelas Wir?”
Wira menatapku tajam “Harusnya aku yang ngomong kaya gitu sama kamu Lil, kamu belajar dong nerima kenyataan kalau kamu sama Rama itu udah selesai. Ngapain kamu masih mikirin Rama, emang Rama ada mikirin kamu?”
“Kenapa bawa-bawa Rama?” Emosiku mulai naik.
“Kamu bisa  bilang sama aku kalau aku harus sadar dan terima kenyataan tapi kamu sendiri? Apa kamu bisa sadar diri dan terima kenyataan kalau kamu dan Rama itu sudah selesai? Bangun Lil, bangun”
“Kamu gak berhak ngomong kaya gitu sama aku Wir, kamu gak berhak..” Aku mulai menangis.
Wira langsung memelukku “Lila, maaf..bukan maksud aku menyakiti perasaan kamu. Aku hanya ingin kamu tau kalau aku ada dan selalu ada untuk kamu tapi kenapa kamu gak pernah menganggap aku ada? Apa kesalahan aku di masa lalu terlalu fatal?”
Aku hanya bisa menangis di pelukan Wira, aku tak mampu berkata apapun. Seandainya saja Wira tau, kalau aku selalu anggap dia ada dan tak pernah sekalipun aku menganggapnya tak ada. Tapi untuk apa aku ungkapkan semua? Semuanya tidak akan berguna dan hanya akan menyakiti. Sudah cukup aku menyakiti Wira, Wira berhak dapatkan yang lebih baik lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar