PERSIMPANGAN
JALAN
By :
Yayu Susiyanti
Pagi ini matahari malu-malu
keluar dari peraduannya, sesekali mengintip di balik awan biru. Panasnya belum
seberapa di bandingkan panasnya mata dan hatiku, ah tunggu ku rasa hatiku tak
panas tetapi perih. Iya perih, ibarat luka terus di tetesi oleh jeruk nipis. Hahaha
tidak separah itu juga.
Perkenalkan namaku Kalila,
aku hanya seorang gadis yang biasa saja tak punya kemampuan apapun selain
berdiam menyepi dan duduk lama menatap layar computer atau notebook hanya untuk
menulis. Tapi hanya itu yang bisa membuat perasaanku lebih baik dan bahagia. Bahagia
yang sederhana hanya dengan bisa berbagi cerita dan motivasi.
Perasaanku hari ini campur aduk
seperti gado-gado, mau marah tapi untuk apa? Mau menangis tapi terlalu lelah
untuk menangisi hal yang sama dan berulang-ulang. Aku tau menangis itu wajar
dan gak dosa karena ada saatnya kita memberikan hak kepada mata untuk menangis
dan dengan menangis kita sadar kalau kita mempunyai hati dan mata yang
berfungsi dengan baik.
“Kalilaa…” Panggil Thyara
Aku menoleh dan kembali
menunduk menatap layar notebook putihku.
“Dihh bukannya nyaut, malah
sibuk sendiri” Oceh Thyara
Thyara Anggina, sahabat
terbaik yang ku punya saat ini. Sahabat yang sekaligus musuh bubuyutan karena
dia itu rese dan menyebalkan tak kenal waktu. Tapi aku sangat menyayanginya,
dia sudah ku anggap sebagai saudaraku sendiri. Hanya dengan dia aku bisa
menjadi diriku apa adanya, hanya kepada dia aku bisa mengadu ini-itu tanpa
harus ada kata sungkan. Dia adalah orang yang pertama kali merangkul dan
mengulurkan tangan ketika aku jatuh ke pelosok, yah walaupun dia pasti akan
menertawakanku terlebih dahulu. Belum namanya sahabat kalau pas curhat sedih di
ketawain dulu. Yaaa you’re my best friend walaupun kadang gak pernah akur.
“hah??..” Aku menatapnya sesaat
lalu kembali menunduk.
“Ahh elahh, cape ya ngomong
sama tembok” Thyara mulai kesal padaku. “Mau sampai kapan menyiksa diri seperti
ini Kalila?”
“Entahlah Thya..” Aku
menahan tangisan yang ku tahan sejak tadi.
Thyara menatapku tajam “Lila,
hidup ini harus bergerak dan mau gak mau kamu juga harus ikut bergerak. Mau sampai
kapan Lila? Coba deh kamu inget-inget kesalahan dia biar ada alasan buat kamu
lupa sama Rama”
Air mataku jatuh tak
tertahan “Dia terlalu baik Thya, bagaimana bisa aku melupakan Rama? Bagaimana
bisa aku mengikis rasa ini? Selama ini dia yang membuat aku kuat dan bisa
ngejalanin semua hidupku dengan baik”
“Kalau dia baik kenapa dia
meninggalkanmu?”
“Mungkin.. karena dia ada alasan
lain…” Jawabku terbata-bata
“Apa??”
“Iya, karena dia sayang sama
aku. Mungkin” Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.
“Kok pake mungkin? Gak yakin
sama jawaban sendiri?” Thyara terus mendesakku.
Aku hanya mengangkat bahu
dan menggelengkan kepala.
“Cinta yang tulus akan
menemukan jalannya untuk kembali, dan ketika dua orang yang saling mencintai
dengan tulus dan tanpa pamrih akan selalu berusaha tetap untuk bersama meskipun
keadaan sulit untuk mereka tetap bersama dan bersatu” Celetuk Thyara.
Aku pura-pura tak mendengar
apa yang Thyara katakan, walaupun sebenarnya hati kecilku membenarkan ucapan
Thyara. Cinta yang tulus akan menemukan jalannya untuk kembali dan akan tetap
bertahan seberapa sulitnya itu. Pikiranku jauh menerawang teringat sosok yang
jauh di sana yang selalu mengawasiku dalam diamnya, Wira. Iya, Wira…
Wira, sosok pria yang pernah
hadir di scenario kehidupanku. Entah harus bagaimana mendeskripsikannya, karena
dia tidak dapat di deskripsikan bukan karena dia makhluk astral. Wira sosok
pria yang jujur sampai saat ini aku masih bingung ketika aku mengingat
sosoknya, pria yang dalam diamnya masih begitu mencintaiku tanpa ingin aku tau perasaan
dia yang sebenarnya. Wira yang seolah membenciku sangat dalam tetapi dalam
hatinya dia begitu tulus mencintaiku dan sialnya aku mengetahui hal ini di saat
waktu yang sudah terlambat. Mungkin lagu Adera – Melewatkanmu adalah sebuah tamparan
keras untukku..
******
Sebuah lantunan lagu
Aerosmith mengalun dari Handphoneku, ada panggilan masuk dari Wira. Aku hanya
meliriknya tanpa ingin menjawab panggilannya.
“Maafkan aku bukan maksud
aku untuk menjauhimu, tapi ini lebih baik untuk aku dan kamu. Aku gak mau
menyakitimu terlalu jauh dan terlalu dalam. Maafkan aku, Wira” Aku membathin.
Belakang ini aku lebih
banyak menyendiri di suatu tempat, tempat yang membuatku nyaman dalam kesendirian
dan keheningan. Tempat dimana aku bisa melepaskan semua yang aku rasa, tempat
dimana tak ada seorangpun yang bisa melihat aku menangis dan tempat dimana aku
bisa dengan bebas mengenang Wira dan Rama.
Pikiranku jauh menerawang,
memikirkan Rama, Rama dan masih tentang Rama. Semuanya masih seperti mimpi,
mimpi buruk yang tak bertepi mungkin. Ingin rasanya aku mendengar suara Rama
walaupun hanya sebentar saja, tapi apa mungkin Rama masih ingin berbicara
denganku setelah apa yang terjadi antara aku dan Rama? Karena yang aku tau
kehadiranku begitu menyakitkan untuk Rama. Aku masih ingat jelas semua ucapan
Rama malam itu.
“Kita
tak bisa seperti dulu lagi, aku harap suatu saat nanti kamu akan mengerti
mengapa aku seperti ini. Aku hanya ingin kamu bahagia, gak mau nangis terus
kalau sama aku. Ini yang terbaik untuk kita, aku harap kamu bisa mengerti. Kamu
gak akan pernah tau seberapa sayang aku sama kamu”
Rasanya masih terlalu berat
untuk melepaskan semua tentang Rama, gak semudah mengedipkan mata. Seandainya
saja aku bisa mencegah dan memohon Rama untuk tetap tinggal di sisiku tapi apa
mungkin??
“Hei Kalilaa….” Panggil
suara di belakangku.
Aku menoleh dan betapa
terkejutnya aku melihat sosoknya “kamu?? Sedang apa kamu disini?”
“Sama sepertimu, melarikan
diri dari kenyataan hidup” Jawabnya enteng.
“Maksudmu apa melarikan
diri? Aku sama sekali tak melarikan diri”
“Sudahlah Lila, mau sampai
kapan kamu bersembunyi di balik kepalsuan” Dia duduk di sebelahku “Aku sudah
lama mengenalmu, kamu bisa saja memakai topeng kepada yang lain untuk menipu
tapi kamu tak bisa menipu aku ataupun hati kamu sendiri”
“Gak usah sok tau”
Dia tertawa lalu menatapku
pelan “Semua orang bisa berlari dari kenyataan hidup tapi taka da seorangpun
yang bisa lari dari kenyataan perasaan”.
Aku terpukau mendengarnya,
ingin rasa hati untuk membantah tapi mendadak saja lidahku sulit di gerakkan
dan aku hanya terdiam.
“Kenapa kamu tau aku di sini?”
Tanyaku perlahan
“Kamu dan aku itu sama Lila,
punya kesamaan dan ingin berlari dari kenyataan”
“Sekali lagi aku bilang yah
sama kamu kalau aku ini gak lari dari kenyataan, tapi yah emang di tempat
inilah aku menemukan kenyamanan” Belaku
Aku memang sering ke tempat
ini, sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Dulu aku sering ke sini bersama
Wira, aku dan Wira menamai tempat ini sebagai Nixtio. Di tempat ini aku bisa
puas menangis tanpa ada yang tau kalau aku menangis, aku sering menangis
sejadinya di sini dan setelah menangis aku harus bersikap seolah semua tidak
ada yang terjadi dan baik-baik saja. Penuh kepalsuan, mungkin itu yang bisa
tergambarkan.
“Aku masih ingat tempat ini,
tempat dimana semuanya tercatat rapi dan jadi saksi apa yang sudah kita lalui
bersama” Wira menatapku dengan pandangan mata yang aku sendiri tak mengerti.
“Sudahlah Wira, jangan buat
aku merasa serba salah lagi”
“Aku tau kamu masih sayang
aku, tapi sampai kapan kamu berbohong menutupinya?”
“Aku dan kamu itu sudah
selesai Wira, please jangan ungkit lagi”
“Kamu bohong Lila, sampai
kapan kamu menutupi kebohongan dan kepalsuan ini?”
“Wira, please stop… Aku gak
suka di ungkit masalalu”
“Untuk apa kamu datang ke
tempat ini, tempat dimana penuh cerita aku dan kamu?”
“Wira, aku bilang stop ya
stop. Kamu ngerti kata STOP ga sih Wir?” Aku mulai emosi.
“Kamu memang gak pernah
berubah ya Lila……” Belum sempat Wira berbicara aku memotongnya.
“Kamu itu menyebalkan ya
Wir, kamu masih aja gak bisa menerima kenyataan kalau aku sama kamu itu udah
selesai. Kamu tau apa arti selesai? Apa perlu aku perjelas Wir?”
Wira menatapku tajam “Harusnya
aku yang ngomong kaya gitu sama kamu Lil, kamu belajar dong nerima kenyataan
kalau kamu sama Rama itu udah selesai. Ngapain kamu masih mikirin Rama, emang
Rama ada mikirin kamu?”
“Kenapa bawa-bawa Rama?”
Emosiku mulai naik.
“Kamu bisa bilang sama aku kalau aku harus sadar dan
terima kenyataan tapi kamu sendiri? Apa kamu bisa sadar diri dan terima
kenyataan kalau kamu dan Rama itu sudah selesai? Bangun Lil, bangun”
“Kamu gak berhak ngomong
kaya gitu sama aku Wir, kamu gak berhak..” Aku mulai menangis.
Wira langsung memelukku “Lila,
maaf..bukan maksud aku menyakiti perasaan kamu. Aku hanya ingin kamu tau kalau
aku ada dan selalu ada untuk kamu tapi kenapa kamu gak pernah menganggap aku
ada? Apa kesalahan aku di masa lalu terlalu fatal?”
Aku hanya bisa menangis di
pelukan Wira, aku tak mampu berkata apapun. Seandainya saja Wira tau, kalau aku
selalu anggap dia ada dan tak pernah sekalipun aku menganggapnya tak ada. Tapi untuk
apa aku ungkapkan semua? Semuanya tidak akan berguna dan hanya akan menyakiti. Sudah
cukup aku menyakiti Wira, Wira berhak dapatkan yang lebih baik lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar